Batam – Tempat Pemulihan Sosial Non Shelter (PRSNP) Tanjungpandan atau Sintai baru-baru ini digarap untuk mengatasi permasalahan daerah setempat, yakni prostitusi ilegal khusus di Batam. Pelacur yang tersebar di beberapa tempat di Kota Batam dikumpulkan dan dikumpulkan di kawasan ini.
Sintai awalnya bekerja untuk memulihkan pekerja seks agar mereka kembali ke ‘jalan yang benar’. Mereka yang berada di area ini diberi kemampuan. Kesehatan mereka juga diperiksa secara berkala oleh petugas.
Namun, para pelacur ini juga diizinkan bekerja di bar dan tempat hiburan di kawasan ini. Ada juga pedoman wilayah kondom wajib.
Pembinaan masih dilakukan, misalnya pemberian keterampilan. Dipercaya bahwa ini akan menjadi uang mereka untuk kembali ke masyarakat dan menghasilkan uang. Kemudian mereka selangkah demi selangkah kembali ke lingkungan lama mereka.
Perda Kota Batam Nomor 6 Tahun 2002 tentang Permohonan Sosial Pasal 8 ayat 2 butir a Perda Nomor 16 Tahun 2002 menyatakan, harus ada pengawasan ketat dari Pemko Batam agar jumlah pelacur tidak bertambah. PSK berisiko tinggi tertular HIV/Helps.
Butir c menyebutkan, setelah terus digalakkan, PRSNP akan ditutup sekitar tiga tahun setelah terbitnya Perprov.
Bagaimanapun, apa masalahnya? bar-bar di kawasan Sintai sering mendapatkan pelacur baru dari luar daerah untuk dimanfaatkan. Alih-alih mengurangi pelacur, daerah ini membuat dan mendapatkan pelacur baru. Setelah Perda diberikan, 18 tahun hingga saat ini, wajah Sintai berubah menjadi ‘Pejabat di Batam’ yang secara tidak langsung dilegitimasi oleh Pemko Batam.
Beberapa waktu lalu polisi mengungkap dua remaja putri di bawah umur asal Garut. Mereka mengakui bahwa mereka disesatkan dan akhirnya bekerja di bar ruang ini.
Jelas pembangunan Pusdiklat Non-Panti Tanjungpandan kontraproduktif. Inilah realita saat ini:
1. Sering Dapatkan PSK Baru
Banyak contoh pekerja seks ABG dibawa ke daerah sintai. Transaksi ganda anak di bawah umur adalah artikel asli di sini.
Belakangan, polisi menangkap pelaku eksploitasi ilegal di kawasan Pembatasan Sintai, Tanjunguncang, Kawasan Batuaji. Tiga orang diamankan sebagai tersangka. Mereka memanfaatkan anak di bawah umur di sebuah bar.
Sm dan Ds, adalah mucikari sekaligus direktur bar. Sedangkan As (15) yang juga masih di bawah umur menjadi petugas pendaftaran anak-anak kecil.
Kapolres Barelang, Kombes Pol Prasetyo Rachmat Purboyo mengatakan kedua anak kecil itu dimanfaatkan sebagai pekerja seks. “Satu tersangka masih di bawah umur, sebagai perwakilan seleksi dan menyambut korban ke Batam pada Minggu 5 Januari 2020,” kata Prasetyo, Rabu (8/1/2020).
2. Pelacur Berdandan Setiap Malam seharga Rp 200.000
Salah seorang pelacur, Nunu (23), mengaku menawarkan jasanya dengan tarif Rp. 200.000 selama 30 menit administrasi kepada setiap orang yang melintas. Jadwal harian itu ia alami di Batasan Sintai, Tanjunguncang, Batam, Kepulauan Riau.
Dalam satu malam, tidak terlalu banyak pengunjung yang menggunakan layanannya. “Kadang ada 2 dan 3 pengunjung. “Kadang tidak ada sama sekali,” kata warga Tanjung Priok itu.
3. Dengan asumsi sudah penuh, satu malam bisa 4 orang
Lita, lansia 23 tahun, adalah pekerja seks komersial (PSK) di sel tahanan Sintai, Tanjunguncang, Batam. Dia mengatakan itu adalah keterlibatan pertama dengan kehidupan yang cukup lama.
Lita, adalah seorang wanita asal Indramayu, Jawa Barat. Wanita berambut panjang dan bersuara halus itu baru saja melahirkan selama satu bulan. “Sebelumnya saya bekerja mandiri. Cukup pergi karaoke dan minum-minum di Indramayu,” ujarnya.
4. Risiko HIV di Daerah
Kurungan Sintai atau yang biasa disebut Blok S merupakan restriksi yang sengaja diselesaikan oleh otoritas publik sejak tahun 90-an. Landasan dasarnya adalah untuk mengurangi perkembangbiakan pelacur di sekitar kota, khususnya Nagoya dan Jodoh.
Sejak awal, ratusan atau bahkan ribuan wanita pekerja seks berganti-ganti kamar makan di banyak rumah atau bar, diklaim oleh masing-masing mucikari di rumah bordil tersebut.
Sintai terletak di selatan Kota Batam, tepatnya 30 kilometer dari Nagoya. Daerah ini sangat terpencil. Jalan rusak, kecil dan berdebu.
5. Adanya desakan untuk menutup Kawasan Sintai
Menteri Crisanctus Paschal Saturn, ekstrimis Komisi Keharmonisan Damai Pelancong Luar Negeri (KPPMP) menyoroti hadirnya batasan Sintai yang menyandang nama tempat pemulihan non-hierarkis.
“Sintai adalah tempat restorasi non-hierarkis atau batasan prostitusi yang dilegitimasi. Seingat kami, ada beberapa kasus yang berurusan dengan individu serupa di sini,” kata Romo Paschal dalam pesan instan kepada Batamnews, Jumat ( 10/1/2020).
Bagian DPRD Batam, Aman juga mendekati Pemko Batam untuk segera menutup selungkup sambil mengatasnamakan situs restorasi non orbit. “Kami sudah berulang kali meminta daerah itu untuk diurus,” kata Aman yang juga anggota Komisi IV Batam, Sabtu (1/11/2020).